May 19, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

BI Antisipasi "Gelembung" Akibat Rezim Bunga Negatif

iVooxid, Teluk Benoa - Bank Indonesia terus mengantisipasi potensi "bubble" atau kenaikan drastis pembelian instrumen keuangan di pasar modal, menyusul banyaknya peralihan dana dari instrumen berbasis bunga karena kebijakan suku bunga negatif negara-negara maju.

"Dalam pertemuan di rapat dewan gubernur, kita selalu antisipasi kemungkinan 'bubble'(gelembung), terutama di pasar modal," kata Deputi Gubernur BI Hendar usai menghadiri seminar gabungan SEACEN-Bank Indonesia "Issues, Challenges, and Impact of Dynamic Global Changes" di Teluk Benoa, Bali, Senin (31/10/2016).

Hendar mengatakan peningkatan nilai instrumen keuangan di pasar modal hingga saat ini, masih sesuai dengan takaran fundamental Bank Indonesia.

"Kita dalami, sejauh ini penguatan ini masih sejalan," ujar dia.

Beberapa kalangan ekonom dan bankir sebelumnya mengkhawatirkan krisis ekonomi global berikutnya bisa terjadi karena gelombang kebijakan suku bunga negatif dari berbagai bank sentral dunia yang memicu gelembung (bubble) peningkatan nilai instrumen keuangan di pasar modal.

Lazimnya, ketika suku bunga nol persen atau negatif, dana dari bank akan dipindahkan ke instrumen keuangan di pasar modal karena bunga instrumen yang ditawarkan bank tidak menarik.

Oleh karena itu pembelian instrumen keuangan non-bank akan terjadi secara masif (bubble) dan dikhawatirkan berdasarkan spekulasi.

"Semakin turun bunga acuan bank sentral maka akan semakin meningkatkan 'value' (nilai) instrumen finansial," kata Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk (BRI) Haru Koesmahargyo beberapa waktu lalu.

Hal itu, kata Haru, akan memicu potensi gejolak atau instabilitas ketika kebijakan suku bunga negatif tersebut akan menemui titik balik dan memicu jatuhnya harga instrumen keuangan.

"Makin rendah suku bunga, maka semakin tinggi 'value' instrumen. Namun, tidak ada sumur yang tidak memiliki dasar. Ketika ada titik balik, harga instrumen finansial yang 'bubble' akan jatuh," kata dia.

Sebelumnya, kata dia, terdapat dua fenomena "bubble" yang menyebabkan badai atau krisis ekonomi global, yakni pada 1999 dan 2008.

"Pada 1999 berasal dari emiten-emiten dot-com di pasar modal Amerika Serikat, namum dampaknya tidak terlalu terasa di Indonesia. Kemudian tahun 2008 krisis keuangan, berasal dari bubble properti," kata dia.

Haru menekankan penempatan dana lebih baik diprioritaskan untuk sektor riil dan sektor yang tidak berpotensi terjadi "bubble".

"Pertumbuhan ekonomi harus didorong dengan mengeser dana-dana di instrumen keuangan di atas ke sektor riil. Sebab dia menilai, pembiayaan ke sektor riil cenderung terhindar dari gelembung ekonomi," ujarnya. (ant)

0 comments

    Leave a Reply