October 8, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Berlabuh di Bergota dan Menikmati Lumpia

SAKITNYA Wang Jing Hong, salah satu nakhkoda handal dari gugus armada yang dipimpin oleh seorang Admiral besar Tiongkok yang dalam buku karya Liem Thian Joe yang berjudul Riwajat Semarang: dari Djamannja Sam Poo sampe Terhapoesnja Kongkoan, dikenal bernama Cheng Ho, menjadi awal bab baru suatu daerah pesisir di pantai utara Jawa.

Simongan tepatnya nama daerah tempat armada Tiongkok itu berlabuh, dan admiralnya yang bernama Cheng Ho adalah seorang ksatria laut gagah yang dilahirkan di Yunnan pada tahun 1371 Masehi, tepatnya di desa He Dai, Kabupaten Kunyang, Provinsi Yunnan.

Menurut sejarawan orientalis Edward L. Dreyer dalam bukunya yang bertajuk Zheng He: China and the Oceans in the Early Ming, Cheng Ho memiliki nama asli Ma He dan lahir dalam keluarga Muslim. Ia kemudian mengadopsi nama keluarga Zheng yang diberikan oleh Kaisar Yung Lo sehingga menjadi Zheng He.

Berbekal surat keputusan Kaisar dari dinasti Ming itu pulalah, Admiral Cheng Ho yang pada awalnya dibekali dengan 208 kapal lintas samudera mengawali misi penjelajahan dunia yang dimulai pada awal abad ke 15, tepatnya pada tahun 1405. Dan tidak tanggung-tanggung, misi pelayaran eksplorasi itu berlangsung selama 28 tahun dengan 7 kali sorti pelayaran, baik ke perairan barat maupun timur, hingga sampailah kisah kita di Simongan tadi.

Menurut sejarawan dan penulis buku Amen Budiman dalam karyanya yang berjudul Semarang Riwayatmu Dulu yang diterbitkan pada tahun 1978, pelabuhan utama Semarang di abad ke 15 adalah Simongan dan Bergota. Dimana kini kita masih dapat melihat bukit Bergota yang telah beralih fungsi menjadi tempat pemakaman umum, dan tentu saja bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran Universitas Diponegoro akan sangat familier dengan bukit yang satu ini. Ruang-ruang kuliah utama FK Undip sebelum masa perpindahan ke kampus utama nan modern di kawasan kampus terpadu Undip Tembalang, terletak di gunung Brintik. Salah satu bagian dari perbukitan Bergota.

Jadi dapat dibayangkan, dari lokasi kampus yang terdiri dari ruang kelas, laboratorium faal, farmakologi, farmasi, Biokimia, dan juga histologi itu di masa lalu, kita dapat melihat hilir mudiknya Jung Tiongkok, kapal Jawa dari bandar Japara, atau bahkan mungkin armada pendahuluan dari berbagai bangsa timur tengah dan kaukasia.

Bahkan jika kita menilik sejarah lebih jauh ke belakang, Semarang sudah berkembang sejak era kerajaan Medang ataupun Mataram Kuna. Bukti sejarah tersebut bisa dilihat dari beberapa artefak yang masih ada hingga kini, di antaranya temuan candi Hindu abad IX di Mijen, Watu Tugu di Kecamatan Tugu, Situs Klentengsari, Banyumanik, hinga pemakaman kuno di wilayah Pleburan.

Di TPU Sukolilo ini bahkan ditemukan watu umpak sebagai bagian dari suatu kompleks percandian, dan juga watu lumpang yang kerap dikaitkan dengan status Sima suatu daerah. Sima adalah perdikan khusus yang dibebaskan dari pajak karena dianggap berjasa pada kerajaan.

Tidak banyak yang tahu memang tentang situs Pleburan ini, seperti juga jejak pelabuhan Pragota yang semakin sulit untuk ditemukan kembali. Apakah ada di sekitar lapang Kalisari dan pasar Bulu saat ini ? Atau bahkan di daerah banjir kanal yang memang alirannya sampai ke daerah Simongan. Hanya saja dari manuskrip di era Mataram Kuna, terdapat satu petunjuk tentang adanya Pulau Tirang di dekat pelabuhan Pragota. Mungkin pulau yang sudah melebur menjadi daratan sebagaimana delta sungai Nil yang terisi oleh guguran tanah hasil erosi di daerah hulu.

Kembali kepada kisah Cheng Ho yang membawa juru mudi utamanya yang sakit, Wang Jing Hong ke Simongan. Cheng Ho atau Ma He atau sebagian sejarawan juga mengaitkannya dengan figur atau sosok pahlawan laut dalam kisah 1001 malam, Sinbad, yang berasal dari pelafalan nama beliau yang kerap disebut juga Ma San Bao, membawa armada besar dengan sekitar 27 sampai dengan 28 ribu pasukan laut dalam sejumlah besar kapal yang jumlah armadanya berbeda-beda di setiap ekspedisi. Tapi ada satu kapal induk atau kapal komando utama yang selalu digunakan Admiral Cheng Ho. Kapal utama Cheng Ho dijuluki Kapal Pusaka. Panjangnya mencapai 138 meter dan lebarnya 56 meter. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kapasitas Kapal Pusaka. Ada yang mengatakan kapasitasnya sekitar 2.500 ton, sedangkan pendapat lain menyebut 3.000 ton.

Dari segi prestasi sebagai insan samudera, Cheng Ho juga unggul dari para perintis pelayaran samudera lainnya seperti Magellan, Vasco Da Gama, ataupun Columbus. Cheng Ho jauh lebih awal merapat di bandar Kalkuta India dibanding da Gama, beliau juga diduga lebih dulu sekitar 114 tahun dalam merintis jalur pelayaran keliling dunia dibanding Magellan, serta ada dugaan kuat oleh sejarawan Tiongkok, Prof Kong Yuanzhi, bahwa Cheng Ho telah mencapai benua Amerika jauh sebelum era Christoper Columbus "tersesat" ke sana.

Sebenarnya kisah pulau Tirang yang terkait dengan pelabuhan Pragota, pada gilirannya muncul kembali di sejarah Semarang versi babad. Dimana dalam cerita babad, Kabupaten Semarang didirikan oleh cucu Raden Patah, Putra Adipati Unus (Raja Demak II), yang bernama Raden Made Pandan (yang lebih senang mengembara) Adapun tahta Kerajaan Demak diserahkan kepada pamannya, Raden Trenggono. Pengembaraan Raden Made Pandan sampai di sebuah Pulau bernama Pulau Tirang yang akhirnya dikenal dengan nama Semarang. Di pulau tersebut beliau mendirikan pemukiman di pulau Tirang yang dikenal sebagai Tirang Amper.

Sampai akhirnya seiring dengan perjalanan dan dinamika sejarah yang berawal dari penamaan wilayah sebagai Pandan Arang karena daerah permukiman di pulau Tirang itu banyak ditumbuhi pohon Asam Jawa (Tamarindus indica sp) tapi dalam posisi jarang-jarang, oleh Syech Wali Lanang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Jawa bagian Utara, Semarang berkembang menjadi suatu wilayah kabupaten di Demak Bintoro.

Tanggal 12 Rabiul Awal 927 H. yang jatuh pada hari Selasa Kliwon tanggal 15 Maret tahun 1521disepakati sebagai momen "kelahiran" resmi Semarang sebagai suatu wilayah administratif. Dimana tanggal itu bertepatan dengan pengangkatan Ki Ageng Pandanaran I sebagai Bupati Semarang dalam pisowanan agung di Demak.

Uniknya Semarang yang kemudian berkembang menjadi rumah berbagai bangsa dan ras manusia adalah kemampuan katalitiknya dalam mengurai simpul masalah yang bersumber dari perbedaan. Misal saat terjadi perselisihan terkait informasi tentang awal Ramadhan yang krusial bagi ummat Islam, terutama terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa, maka Semarang melahirkan tradisi nan arif yang kita kenal sebagai Dugderan.

Dugderan diperkirakan mulai berlangsung sejak tahun 1881 di kala Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat. Dimana momentum Dugderan yang kini menjadi salah satu ikon peristiwa budaya di Semarang, disepakati sebagai informasi awal Ramadhan resmi yang dirilis oleh Ulama dan Umaro yang secara simbolis ditandai dengan penabuhan bedug di masjid Agung Kauman sebanyak 3x yang diikuti dengan letusan meriam di depan pendopo kabupaten, juga sebanyak 3x. Secara resmi Bupati dan Penghulu Kepala Semarang kemudian akan mengumumkan datangnya bulan Ramadhan sesuai dengan perhitungan ilmu Falak.

Seiring dengan maraknya momentum Dugderan yang berkembang menjadi keriaan dalam konsep pesta rakyat yang egaliter dalam sukacita menyambut Ramadhan, muncul pula kearifan lokal yang menjadi simbol akulturasi dan integrasi peradaban lintas bangsa dalam bentuk Warag Ngendok.

Apa itu? Sejenis makhluk mitologi yang merepresentasikan bouraq dari tradisi Islam dan timur tengah, naga dari tradisi Tiongkok, dan kambing sebagai perlambang suku Jawa. Suatu simbol harmoni yang mampu mengorkestrasi perbedaan menjadi janji suci dalam kebersamaan yang diharapkan akan melahirkan keselarasan yang menjadi prasyarat kedamaian dan ketenangan yang sama-sama menjadi kebutuhan bagi mereka yang ingin berbagi ruang untuk hidup bersama.

Sama seperti kisah cinta di antara dua kompetitor penganan yang pada gilirannya akan melahirkan produk fusi kolaborasi yang juga hibrida budaya kuliner Jawa dan Tionghoa.

Alkisah Tjoa Thay Yoe, seorang pendatang dari China yang singgah ke Semarang pada akhir abad ke-19, menjual beragam penganan berbahan daging dan rebung di Pasar Johar, Semarang. Saat itulah ia bertemu dengan Wasih, saingan beratnya. Perdagangan penganan dengan ciri khas kuliner pesisir, cemilan dengan udang dan umbi-umbian seperti kentang. Persaingan hebat terjadi di antara dua insan berbeda bangsa dan bahasa tersebut. Tapi siapa nyana dari kompetisi yang dahsyat, muncul kesan mendalam karena respek dan saling kagum satu sama lainnya. Walhasil Koh Tjoa dan Mbak Wasih saling jatuh cinta.

Terjadilah akulturasi asmara dalam sebuah penganan legendaris yang kini kita kenal sebagai lumpia. Anak cucu mereka menjadi simbol asimilasi dan harmoni dalam keberagaman yang damai dan menenangkan. Maka kalau ke Semarang, jangan lupa mampir Jalan Bojong (kini Pemuda) atau Gang Lombok ya!

Seiring dengan dinamika dan gejolak politik kawasan, peran strategis Semarang sebagai kota bandar dengan akses menuju dunia utara menjadi semakin penting dalam percaturan kawasan. Hingga berawal dari kesepakatan antara Kerajaan Mataram dengan pihak VOC, dimana Kerajaan Mataram harus menyerahkan Semarang sebagai pembayaran akan batuan VOC dalam menghadapi pemberontakan Trunojoyo. Kesepakatan itu terjadi pada tanggal 15 Januari tahun 1678 silam, dan sebagian pesisir utara Semarang menjadi bagian dari wilayah "kawasan ekonomi dan pertahanan khusus" yang dikelola oleh kompeni.

Pembangunan pesat di wilayah VOC pun tak terelakkan lagi, maklum sebagai kota bandar, tentulah trafik perdagangan di pelabuhan Semarang amat tinggi. Ekspor komoditas Jawa dan Nusantara sebagian besar terpusat di Semarang. Bahkan dari posisi strategis itulah maka diputuskan jaringan kereta api pertama di Hindia Belanda dibangun di di Semarang yang inisiatifnya telah dimulai pada tahun 1867. Jaringan rel kereta api ini ditujukan agar tercipta konektivitas antara daerah produsen komoditas di sekitar Kedu dan Vorstenlanden, dengan pelabuhan utama VOC yang berada di Semarang. Tentu ada makna starategis lainnya, seperti untuk kepentingan pertahanan dan keamanan bukan?

Maka kawasan bisnis dan pemerintahan yang dikenal sebagai Oudstadt itupun berkembang sangat pesat. Gedung pemerintahan, rumah-rumah warga, kanal serta benteng yang bernama Vijhoek dibangun di sana. Bahkan belakangan hari 3 stasiun utama Jawa ada di sana; stasiun Jurnatan, Tawang, dan Poncol.

Jalan utamanya bernama Heeren Straat yang terhubung dengan jejaring jalan dan fasilitas publik yang tertata dengan sangat baik, dan jejak-jejaknya masih dapat kita nikmati dan telusuri sampai hari ini.

Demikian sekilas tulisan pagi ini tentang Semarang, dimana proses menulis ini terjadi karena terpantik berbagai berita tentang banjir yang tengah melanda Semarang dan sekitarnya.

Banjir kali ini intensitasnya cukup dahsyat, hingga beberapa perjalanan KA harus dialihkan melalui jalur selatan, karena adanya genangan yang menutupi jalur kereta api di petak stasiun Tawang-Poncol.

Banjir tersebut diduga karena Semarang menjadi daerah dengan intensitas hujan ekstrem dengan curah hujan tertinggi di Indonesia pada periode 8-14 Maret 2024, yaitu mencapai 238 mm/hari.

Kondisi cuaca ekstrem ini menurut analisis BMKG, antara lain disebabkan oleh aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO) serta fenomena Gelombang Kelvin dan Rossby Equatorial yang terpantau masih aktif dan diprediksi berdampak pada beberapa wilayah Indonesia dalam beberapa hari kedepan.

Teridentifikasi juga adanya tiga bibit siklon tropis, yaitu bibit siklon tropis 91S, 94S, dan 93P yang termonitor berada di sekitar Samudera Hindia selatan Jawa, Laut Timor, dan Laut Australia serta berpotensi mempengaruhi kondisi cuaca di beberapa wilayah Indonesia bagian selatan.

Jika Semarang atau Samarang sisi utara semula memang bagian dari lautan, maka kenaikan muka air laut saat pasang, dan peningkatan curah hujan dengan intensitas ekstrem tentulah potensi untuk terjadinya genangan amatlah besar. Terlebih menurut hasil penelitian Heru Sutanta, PhD, dosen teknik geodesi UGM, memperlihatkan hasil bahwa proses subsiden tanah di Semarang telah mencapai 9 cm/tahun, sementara terjadi peningkatan muka air laut sekitar 3-5 mm/tahun.

Semarang mungkin akan kembali pada kondisi geomorfologi seperti 8 abad yang lalu saat armada Cheng Ho merapat di dermaga Simongan.

Penulis: Tauhid Nur Azhar

Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19

0 comments

    Leave a Reply