October 5, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Berburu Buku, Merawat Ingatan

Resensi Buku

Judul: Toko Buku Terakhir

Penulis: Usman Kansong

Penerbit: Lamalera, Yogyakarta

Tahun terbit: 2023

Halaman: 216


“Baru kali ini saya mendapat tamu yang minta diantar ke toko buku,” kata Arnold, seorang sopir mobil sewaan. Biasanya, kata pria yang telah bekerja di Amerika lebih dari 20 tahun, tamu-tamunya minta diantar ke factory outlet, toko cindera mata atau tempat-tempat wisata.

Tamu yang diantar Arnold kali ini memang pecinta buku. Usman Kansong, sang tamu, memanfaatkan waktu di sela-sela kunjungan kerjanya ke Boeing, SpaceX dan sejumlah perusahaan lain di Amerika Serikat pada Juli 2022 lalu untuk berburu buku.

Cerita tentang perburuan buku ini dia tuliskan dalam tulisan berjudul The Last Bookstore. Toko Buku Terakhir. Judul yang sama dengan buku yang diterbitkan pada 2023 lalu.

Buku ini berisi cerita-cerita tentang perburuan buku yang dialami Kansong di berbagai kota di dalam dan luar negeri. Lalu dia menuliskan pengalaman saat berinteraksi dengan buku-bukunya itu di laman Facebook miliknya.

Di dalam buku ini ada 57 tulisan yang dikelompokkan ke dalam tujuh tema yaitu buku dan obituarium; buku dan agama; buku, kafe, kopi; buku dan politik; buku dan aku; buku, perjalanan, kebahagiaan; toko buku.

Pada bagian pertama, penulis menghadirkan ingatan tentang sejumlah tokoh Indonesia yang telah wafat. Ada cendekiawan muslim Prof Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat, Bahtiar Effendy, dan Buya Syafii Maarif. Lalu sejarawan Mona Lohanda, Onghokham, dan Ridwan Saidi. Tentu semua tulisan dikaitkan pula dengan karya-karya buku hasil pemikiran para tokoh tersebut.

Bagian kedua lebih beragam, berisi tentang elaborasi Kansong tentang agama, mulai dari buku yang membahas tentang jilbab hingga rekonstruksi tentang Tuhan. Salah satu yang menarik dari bagian ini adalah kritik Kansong terhadap kehidupan beragama di Indonesia, yang ditulis berdasarkan pengalamannya ikut unity walk di Washington DC, Amerika Serikat pada September 2017.

Saat itu Kansong tertarik pada agama Wicca, yang menganggap Tuhan itu ajaib. Agama ini juga mengingatkannya pada tulisan Eric Weiner berjudul The Geography of Faith yang melaporkan keberadaan agama Raelisme yang ‘menuhankan’ unidentified flying object (UFO) dan Syamanisme yang memetaforakan Tuhan serupa hewan.

Lalu dia membayangkan, apa yang akan terjadi jika agama-agama itu ada di Indonesia? Sedangkan agama-agama asli seperti Sunda Wiwitan, yang ada di Cigugur Kabupaten Kuningan, Jawa Barat saja, misalnya, kerap mendapat perlakukan diskriminatif. Nasib mereka kalah dibandingkan enam agama impor yang diakui negara. “Agama impor seolah menjadi tuan rumah di negeri ini. Ini serupa barang impor yang mendominasi barang lokal dalam dunia ekonomi,” tulisnya.

Masih banyak tulisan lain yang menarik dan ditulis dengan gaya ringan, mudah dicerna, yang tersebar di lima bagian lainnya. Pengalaman Kansong sebagai jurnalis senior yang pernah berkarya di sejumlah media seperti Harian Republika, Media Indonesia, hingga News Current Manager Metro TV tercermin dalam tulisan-tulisan di buku ini.

Buku ini melengkapi sejumlah karya yang pernah ditulisnya seperti Television News Reporting and Writing: Panduan Praktis Menjadi Jurnalis Televisi (2009), Jurnalisme Narkoba: Panduan Peliputan (2015), Jurnalisme Keberagaman untuk Konsolidasi Demokrasi (2016) dan Medan: Pasang Surut Peradaban Kota Perkebunan (2020).

Memang ada sedikit kesalahan kecil penulisan pada buku karya Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI ini. Selain itu, tercium aroma “kesombongan” pada tulisan-tulisan yang menyinggung koleksi bukunya ini, yang sebagian besar dibelinya dari luar negeri baik pada saat dia bertugas, liburan hingga naik haji.

Namun hal ini memang diakui Kansong sebagai bentuk narsisme, tak ubahnya mereka yang memamerkan foto diri bersama pejabat atau foto diri ketika bepergian ke luar negeri. “Bisa juga dikatakan flexing, memamerkan kekayaan atau pencapaian. Namun, saya memamerkan kekayaan intelektual berupa buku, bukan kekayaan harta berupa Rubicon,” tulisnya di kata pengantar.

Telepas dari itu, tulisan-tulisan dalam buku ini tampaknya bisa menjadi pengingat agar masyarakat Indonesia, terutama yang sudah sangat terbiasa membaca pesan-pesan singkat di media sosial, untuk tidak melupakan buku. Di tengah hiruk pikuk pesan yang kadang seragam dalam pengaturan algoritma, dibutuhkan oase untuk merawat ingatan dan menjaga keberagaman informasi. Dan itu bisa dilakukan dengan kembali membaca buku.

0 comments

    Leave a Reply