October 8, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Belajar dari Judol untuk Memetakan dan Membentuk Karakter Bangsa [Tulisan 2]

ARTINYA, jika kita analogikan ke jalur aktivasi neuron dopaminergik, maka ketiadaan dopamin akan mengakibatkan timbulnya sensasi kebutuhan yang dapat dipenuhi melalui kenikmatan kemenangan (dalam konteks judi).

Dari aspek psikososial, lahirnya budaya pragmatis dan instan ini tentu terkait erat dengan proses pembentukan persepsi dan orientasi dalam tatanan kemasyarakatan. Adanya ekspektasi yang melebihi realitas, serta bergesernya tolok ukur kesejahteraan hidup di era post truth, mungkin telah menghasilkan standar baru dalam mengapresiasi proses. 

Wajar jika kemudian terjadi justifikasi terhadap berbagai upaya instan yang dapat memiliki probabilitas untuk melakukan by pass proses dalam mendapatkan hasil yang diinginkan.

Konteks probabilitas atau peluang yang sebenarnya memiliki rasio rasional yang telah diketahui serta menjadi bahan analisis prefrontal cortex di otak manusia, pada gilirannya dikalahkan oleh insentif yang mungkin akan didapatkan jika berhasil mengoptimalkan peluang.

Demikian pula secara paralel, terjadi proses loss aversion yang menghantui jika kita tidak mengambil atau melakukan tindakan beresiko seperti pada kasus judi. Bayangan terlepasnya peluang untuk mendapatkan hasil dengan nominal tertentu, menjadikan kita memilih untuk berjudi tinimbang mengedepankan perhitungan rasional yang sebenarnya telah kita ketahui hasilnya.

Dalam konteks yang didasari fenomena yang mungkin agak mirip terlihat dari informasi yang disampaikan guru saya, Pak Hendra Sumiarsa, yang sama-sama berinteraksi di Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas.

Menanggapi pemberitaan tentang kunjungan CEO Apple ke Indonesia yang ditindaklanjuti dengan rencana investasi Apple senilai 1,6 triliun rupiah di Indonesia, beliau menyoroti sebab musabab mengapa jumlah ini tampak tak sebanding dengan investasi Apple di Vietnam yang mencapai 255 triliun rupiah.

Salah satu kajian yang beliau sajikan dalam forum chat tersebut adalah presentasi seorang pakar hubungan luar negeri ataupun ekonomi global yang menyitir teori tentang karakter dari negara yang tergolong sebagai forward linkage centrality (FLC) dan backward linkage centrality (BLC).

Dimana FLC dinisbatkan pada negara-negara yang memiliki potensi sumber daya alam sangat kaya, dan cenderung menjual komoditas mentah dalam rangka memperoleh pendapatan dan devisa negara dengan cepat.

Sementara negara-negara dengan kecenderungan BLC, karena keterbatasan sumber daya, akan meningkatkan nilai tambah produk melalui mekanisme pengembangan manufaktur. Termasuk penerapan teknologi maju dan berbagai inovasi yang menyertainya.

Tampaknya keterbatasan dan keberlimpahan memberikan perspektif yang berbeda terkait elan dan etos kerja yang maujud dalam berbagai kebijakan negara.

Adanya proses yang diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk pada gilirannya terkait erat dengan proses pendidikan dan pembentukan karakter yang ditempa oleh perjalanan proses yang dilalui.

Maka optimasi potensi negeri dapat dilakukan secara sistematis dengan mengedepankan rancangan sistem nasional secara terstruktur, termasuk dalam mekanisme pengelolaan sumber daya alam.

Sebagai ilustrasi, berdasarkan data Badan Kebijakan Perdagangan (BKPERDAG), pada Agustus 2023, komoditas lemak dan minyak hewan/nabati menjadi komoditas utama ekspor nonmigas Indonesia dengan kontribusi sebesar 14,15 persen.

Tentu ini sudah merupakan produk yang mendapatkan sentuhan proses pascapanen yang memotong banyak proses processing di negara importir. Dengan demikian produk dapat lebih kompetitif karena menawarkan efisiensi dalam proses rantai produksi.

Relevan dengan kajian di atas, sore tadi saya bertemu dengan mantan murid di fakultas psikologi yang sukses dalam kariernya sebagai eksportir komoditas endemik Indonesia ke Eropa. Beliau banyak bercerita tentang usahanya yang ternyata lebih didominasi oleh aspek edukasi dalam prosesnya.

Komoditas seperti rempah dan lada atau kerajinan Indonesia itu perlu dikurasi agar karakternya ajeg dan dapat terstandarisasi. Konsekuensinya adalah, agar produk atau komoditas tersebut layak ekspor, maka diperlukan mekanisme penanganan semenjak awal proses bertani sampai ke tahapan pasca panen. Dimana pengelolaan berbasis pengetahuan itu dapat dipastikan menjadi bagian dari proses edukasi bagi para petani dan para pemangku kepentingan lainnya.

Kang Tanfidz Suriansyah, yang mantan murid ini berkisah tentang shifting yang terjadi pada proses agroindustri. Mulai dari pembenihan, pemupukan secara organik, penapisan hasil panen, sampai berbagai pemeriksaan untuk memastikan tidak adanya unsur berbahaya dan membahayakan.

Pada akhirnya pelaksanaan proses secara sistematik dan terstruktur itu ternyata telah melahirkan generasi petani dengan karakter baru. Artinya ada evolusi yang terjadi seiring dengan perubahan cara berpikir dari yang semula pragmatis instan, untuk menjadi lebih menghargai proses dan mendapatkan nilai (value) non material atau intangible dari tahapan yang dilakukan secara terstruktur.

Akhirul kata judol dan berbagai ekses lain dari shifting civilization paradigm, karena adanya disrupsi teknologi, bergesernya orientasi, dan resiliensi terhadap tekanan yang berimbas pada pola pengambilan keputusan serta perilaku individual dan komunal, dapat divektorisasi ke arah yang konstruktif, melalui pengembangan sistem yang dapat mengakomodir dinamika kebutuhan secara proporsional, sekaligus dapat menjadi pengendali berbagai kondisi patologis yang tidak logis.


Penulis: Tauhid Nur Azhar

Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19.

 

0 comments

    Leave a Reply