May 6, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Beban Bunga Utang Indonesia masih Logis

IVOOX.id, Jakarta - Sejumlah pihak menyoroti tren kenaikan beban pembayaran bunga utang yang terjadi sejak 2014. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai hal itu merupakan hal yang wajar.


"Itu bukan sesuatu hal yang baru. Adalah sesuatu yang logis," kata dia dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (29/1).


Menurutnya, peningkatan bunga utang terjadi seiring tren kenaikan bunga acuan global. Bank Indonesia (BI) pun telah merespons hal itu dengan mengerek BI 7-day   Reverse Repo Rate sebanyak 6 kali sepanjang 2018.


Sebaliknya, Menkeu mengatakan beban bunga utang pada 2014 rendah lantaran saat itu ada tren pelonggaran moneter dunia. Bank Indonesia pun disebutnya turut menurunkan suku bunga.


Adapun, utang masih dilakukan apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih mengalami defisit. Namun, ia meminta masyarakat untuk tidak melihat utang hanya dari nominalnya saja. Seharusnya, kata Menkeu, utang dilihat dalam konteks yang lebih besar.


"(Kalau) nominal lain tidak dilihat, itu membingungkan atau cenderung dianggap untuk menakut-nakuti masyarakat," ujarnya.


Menurut Menkeu, utang diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia, seperti ketika mengalami tekanan harga komoditas dan pertumbuhan ekspor masih negatif.


Selain itu, utang juga digunakan untuk membangun infrastruktur, mengurangi kemiskinan, dan menjaga pertumbuhan ekonomi.


Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengakui bahwa rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif rendah bila dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS). Namun, meminta pemerintah mewaspadai beban pembayaran bunga utang terhadap APBN yang terus meningkat.


“Selama kurun waktu 2014-2018, utang pemerintah pusat naik 69%, dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun. Peningkatan itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55%,” tulis Faisal ,dikutip dari situs resminya.


Berdasarkan catatan Faisal Basri, pembayaran bunga utang pada 2014 baru mencapai 7,5% dari belanja total dan 11,1% dari belanja pemerintah pusat.


Lima tahun kemudian (2018), pembayaran bunga utang meningkat, masing-masing menjadi 11,7% dari belanja total dan 17,9% dari belanja pemerintah pusat.


Selama kurun waktu 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utang tumbuh paling tinggi, yaitu 94% atau lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9%.


Sebagai perbandingan, rasio utang AS mencapai 105% dari PDB atau jauh lebih tinggi dari Indonesia, yaitu di bawah 30% dari PDB. Meski rasio utangnya lebih tinggi, AS hanya mengalokasikan 7% untuk pembayaran bunga utang dari total belanja total tahun anggaran 2018.


Sementara itu, APBN AS sebagian besar dialokasikan untuk belanja sosial, antara lain dalam bentuk perlindungan sosial dan kesehatan (medicare dan medicaid). Sementara Indonesia, alokasi untuk belanja sosial tak kunjung naik, bahkan turun lantaran beban pembayaran bunga yang terus meningkat. (Adhi Teguh)

0 comments

    Leave a Reply