October 13, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Human, Environment, System & Technology, Mengambil Hikmah dari PLH KA 65 dan 350 [Bagian 2]

Contoh kongkret pada kajian human factor di atas dapat kita coba pelajari pada kasus nyata yang telah disigi dan dianalisis secara mendalam serta telah termaktub dalam satu laporan resmi berupa *Laporan Akhir Investigasi Laratan Lokomotif CC 2031698 Dipo Induk Semarang Poncol Semarang Jawa Tengah Daop IV Semarang 28 April 2013.*

Dalam Laporan Akhir KNKT bernomor 13.04.01.02 itu dijelaskan kronologi terjadinya peristiwa Laratan atau kondisi dimana suatu sarana perkeretaapian berjalan sendiri di luar kendali. Dalam hal ini lokomotif CC 2031698.

Dalam laporan akhir hasil investigasi KNKT tersebut dapat disimpulkan adanya kontribusi aspek human factor yang cukup besar dalam peristiwa tersebut, dimana pengawas daily check yang bertugas diasumsikan telah melakukan pelanggaran prosedur di peraturan dinas dengan tidak melepas handle reverse pada saat melakukan proses pemeriksaan harian dan persiapan dinas lokomotif CC 2031698 itu.

Agar kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih utuh terhadap peristiwa tersebut, silahkan disimak kutipan dari laporan akhir KNKT tersebut.

Pada hari Minggu tanggal 28 April 2013 pukul 04.05 WIB, terjadi Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH) Laratan Lokomotif CC 2039816 dari Dipo Lokomotif Semarang Poncol, anjlok dan terguling pukul 04.20 WIB di Km 17+300 petak jalan antara St. Mangkang – St. Kaliwungu, Semarang, Jawa Tengah, Daop IV Semarang.

Lokomotif CC 2039816 adalah lokomotif yang direncanakan untuk dinas KA 11 Argo Sindoro yang akan diberangkatkan dari stasiun Semarang Tawang menuju stasiun Gambir pada pukul 05.30 WIB.

Pada hari Minggu tanggal 28 April pukul 00.17 WIB, lokomotif CC 2039816 masuk jalur 1 Dipo Lokomotif Semarang Poncol setelah menjalani dinas KA 12 Argo Sindoro, kemudian mesin lokomotif dimatikan untuk pengecekan volume dan pengisian bahan bakar.

Pada pukul 00.37 WIB, mesin Lokomotif CC 2039816 dihidupkan kembali dan dipindahkan dari jalur 1 ke jalur 2. Pada pukul 00.42 WIB mesin lokomotif dimatikan, dilaksanakan pencucian lokomotif oleh petugas cleaning service kemudian dilakukan pemeriksaan harian (Daily Check/DC).

Pada pukul 03.54 WIB, mesin lokomotif dihidupkan kembali untuk pemanasan mesin diesel. Pada saat pemanasan mesin, gagang pembalik arah dalam posisi netral dan gagang tenaga berada pada posisi throttle 8 serta independent brake dalam posisi pengereman penuh (full services).

Langkah berikutnya adalah pemeriksaan kelaikan operasi lokomotif yang meliputi No Go Items di antaranya tekanan udara untuk bekerjanya independent brake 50 psi, automatic brake 70 psi (4,8– 5,1 kg/cm²) dan berfungsinya deadman pedal.

Pemeriksaan perlengkapan No Go Items lainnya yang ada di kabin masinis yaitu suling lokomotif, lampu sorot, pemadam api, lampu kabin, penghapus kaca, lampu semboyan, stop block, speedometer dalam kondisi siap pakai dan radio lokomotif dengan check in modulasi ke petugas PK/OC.

Setelah selesai pemeriksaan perlengkapan No Go Items yang ada di kabin lokomotif, Pengawas Daily Check (DC) turun dari kabin lokomotif dilanjutkan pemeriksaan peralatan yang berada di bogie yaitu rem blok, roda dan baut gear box. Kemudian dilakukan pemeriksaan peralatan yang ada di ujung pendek lokomotif yaitu cowhanger, selang air brake, dan rantai pengaman seluruhnya dalam keadaan baik. Sambil menuju ke ujung panjang lokomotif, pengawas DC memeriksa volume bahan bakar di tangki yang harus berjumlah 1.750 liter.

Pada pukul 04.05 WIB, saat Pengawas DC memeriksa cowhanger, selang air brake, dan rantai pengaman pada ujung panjang lokomotif, yang bersangkutan mendengar suara mesin diesel bertambah keras dan lokomotif mulai berjalan perlahan dari jalur 2 menuju batas emplasemen Dipo Lokomotif Semarang Poncol dan melewati wesel 43 yang berposisi lurus masuk emplasemen stasiun Semarang Poncol.

Sebelum lokomotif CC 2039816 mulai berjalan, di jalur 1 Dipo Lokomotif Semarang Poncol baru masuk lokomotif seri CC 201 eks KA 92 Senja Utama yang diantar oleh Petugas Pengantar Lok (PL) bersama asisten masinis yang ditugaskan oleh Penyelia Masinis untuk mengambil lokomotif CC 2039816. Pengawas DC mengira Lokomotif CC 2039816 berjalan karena dibawa oleh Petugas PL untuk disambungkan ke rangkaian KA 11 Argo Sindoro di stasiun Tawang.

Beberapa petugas PT KAI sedang menggunakan peralatan guntuk evakuasi gerbong kereta api yang mengalami kecelakaan akibat tabrakan Kereta Api KA Turangga dengan KA Lokal Bandung di KM 181+700 petak jalan antara Stasiun Haurpugur – Stasiun Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat,Jumat (5/1/2023). IVOOX/Budiyanto

Beberapa petugas PT KAI sedang menggunakan peralatan guntuk evakuasi gerbong kereta api yang mengalami kecelakaan akibat tabrakan Kereta Api KA Turangga dengan KA Lokal Bandung di KM 181+700 petak jalan antara Stasiun Haurpugur – Stasiun Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat,Jumat (5/1/2023). IVOOX/Budiyanto

Rute yang dilalui Lokomotif CC 2039816 saat larat ialah rute atau jalur yang dilalui Lokomotif CC201140 (nomenklatur lama) eks KA 92 Senja Utama yang masuk Dipo Lokomotif Semarang Poncol sehingga wesel-wesel di emplasemen St. Semarang Poncol ke Dipo Lokomotif masih mengarah ke jalur 2 stasiun Semarang Poncol.

Pada pukul 04.06 WIB atau satu menit setelah lokomotif berjalan sendiri, berdasarkan data logger GPS di sistem Locotrack kecepatan lokomotif di emplasemen St. Semarang Poncol menunjukkan 45 km/jam.

Pada pukul 04.10 WIB, CC2019816 berjalan langsung melewati stasiun Jerakah dengan kecepatan 126 km/jam. Lalu pada pukul 04.12 WIB berjalan langsung melewati stasiun Mangkang dengan kecepatan 117 km/jam.

Pukul 04.20 WIB di Km 17+300 petak jalan antara stasiun Mangkang – stasiun Kaliwungu, kecepatan lokomotif meningkat sampai 145 km/jam dan keluar rel pada jalur belok dengan radius 400 m dimana kecepatan yang diijinkan sesuai Gapeka adalah 70 km/jam.

Pada posisi independent brake keadaan terikat, lokomotif tidak dapat bergerak/tenaga lemah dikarenakan suhu motor diesel masih di bawah suhu kerja yaitu di bawah suhu 71ºC (160ºF). Over Reading Selenoid (ORS) teraliri arus maka Load Control Potensiometer (LCP) bergerak ke minimum field. Lokomotif akan bergerak dengan tenaga yang lemah karena arus lapang yang ke main generator masih lemah.

Berdasarkan keterangan Pengawas Daily Check, pada saat menyiapkan lokomotif, yang bersangkutan memposisikan handle pengereman independent brake pada posisi full service, pengaturan mesin ECS (Engine Control Switch) pada posisi jalan running, saklar kemudi/ control circuit breaker (CCB) posisi on, throttle handle di posisi 8 atau full power dan gagang pembalik arah/ reverse handle posisi netral.

Putaran mesin lokomotif dinaikkan sampai notch 8 agar cepat mencapai suhu kerja 71ºC yang ditunjukkan dengan bekerjanya High Idle Relay (HIR).

Setelah HIR bekerja kemudian pengawas DC memeriksa kelengkapan No Go Items dan menurunkan posisi throttle handle ke posisi nol setelah temperatur mesin mencapai 70 ºC.

Dari hasil analisis KNKT dan juga pada aspek saran diketahui bahwa besar kemungkinan ada unsur human factor, sistem (dalam hal ini regulasi), dan teknologi (sistem wesel dan pengamanan) yang berkontribusi secara signifikan dalam kasus ini.

Sementara jika kita berbicara tentang integrasi antara sistem dan teknologi dalam meminimalkan kesalahan manusia dalam konteks pengaturan dan perencanaan perjalanan kereta api, maka telah dikembangkan sistem persinyalan, wesel, dan interlocking, hingga dapat terbentuk rute-rute aman bagi perjalanan kereta api dan sebagian di antaranya telah dapat dioperasikan secara terotomasi.

Semenjak kereta api mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1867 (lintas Semarang-Tanggung) sampai saat ini terdapat beberapa macam persinyalan yang digunakan. Pada awalnya, penempatan persinyal di pinggir jalur kereta mempunyai tujuan yang sederhana, yakni sebagai batas penanda perhentian kereta api sebelum masuk stasiun. Seiring berjalan waktu, fungsi sinyal pun berkembang. Macam sinyal yang pernah dipakai di Indonesia ialah Sinyal Tebeng, Krian, Alkmaar, Siemens & Halske (S&H) dan sinyal elektrik.

Sinyal yang pertama kali digunakan ialah sinyal tebeng, berupa piringan berwarna merah yang ditempatkan pada as vertikal yang dapat diputar. Sebagai pemutar arah tebeng dipakai kawat tarik yang dihubungkan dengan tempat kerja pengendali lalu lintas di stasiun. Mulanya sinyal ini menggunakan handel kayu kemudian diganti menjadi besi (Situs KAI Heritage).

Sinyal Tebeng kemudian diganti dengan model sinyal Krian dengan sistem yang dapat mengunci perubahan sinyal dan menggunakan tiang yang lebih tinggi agar lebih mudah terlihat. Di dekade 90an sinyal Krian masih dapat dilihat antara lain di stasiun Ciranjang.

Selanjutnya diperkenalkan sinyal Alkmaar, dengan model 1 atau 2 lengan ayun yang dapat digerakkan ke atas (membuka) dan ke bawah (menutup) dan dikendalikan dari rumah sinyal.

Setelah sinyal Alkmaar dikembangkan sistem Sinyal Siemens & Halske (S&H). Kinerja dan tampilan sistem sinyal S&H ini mirip dengan sinyal Alkmaar, bedanya Sinyal S&H dapat mengatur perjalanan kereta api dalam satu petak (antar dua stasiun) dengan menambahkan sebuah pesawat blok.

Dalam operasionalnya, sinyal ini memiliki dua jenis tipe, yakni mekanis dan semi otomatis. sendiri. Pada tipe semi otomatis, setelah kereta api lewat sinyal yang dibuka (lengan naik ke atas) akan kembali pada kedudukan normal (sinyal menutup sendiri).

Saat ini sebagian sistem persinyalan kita sudah mengadopsi teknologi elektrik. Adapun sinyal elektrik yang digunakan antara lain adalah Vital Processor Interlocking (VPI), Solid State Interlocking (SSI), Westtrace, dan yang terbaru adalah System Interlocking LEN (SIL)/ SIL-Safe 4000 (Situs KAI Heritage).

Sinyal dan wesel serta pengintegrasiannya dalam sistem interlocking bertujuan untuk mengatur perjalanan kereta api dan menghindari terjadinya konflik rute yang dapat mengancam keselamatan dan keamanan perjalanan.

Menurut Setiawan (2015), rute dari setiap perjalanan KA dapat mengalami konflik di jalur tunggal maupun di jalur ganda. Adapun rute-rute perjalanan KA meliputi:

1. Rute yang dapat terbentuk sesuai dengan konfigurasi jalur dan wesel di stasiun.

2. Rute yang terpakai oleh perjalanan KA dari total rute yang dapat terbentuk.

3. Derajat konflik rute (Conflict Rate) merupakan derajat terjadinya konflik antara tiap-tiap rute yang terpakai.


Masih merujuk pada Setiawan (2015), kompleksitas faktor yang mempengaruhi metode perhitungan kapasitas stasiun tidak dapat dilepaskan dari perhitungan Conflict Rat untuk memperoleh nilai dari kapasitas sistem interlocking.

Kapasitas sistem interlocking dapat diinvestigasi dengan metode simulasi sederhana menggunakan Tabel Matriks Derajat Konflik (TMDK).

Proses tersebut di atas juga merupakan salah satu bagian penting dalam konsep kajian pola operasi jaringan KA selain jenis pengangkutan KA, jumlah KA per hari, panjang rangkaian KA untuk penumpang dan barang, kecepatan maksimum KA penumpang dan barang, lokasi stasiun, fungsi stasiun, kelas stasiun, jenis dan kegiatan di stasiun, petakjalan dan petak blok, kapasitas lintas, dan tata letak jalur di stasiun (Setiawan, 2016).

Adapun jenis rute konflik yang dapat terjadi adalah; self correlation, yaitu 2 rute perjalanan kereta yang bergerak pada rute yang sama. Lalu ada convergen, yaitu saat 2 kereta bergerak dari arah yang berbeda ke tujuan yang sama. Kemudian ada divergen, saat 2 rute kereta bergerak dari asal yang sama dengan tujuan berbeda. Terakhir ada konflik rute berupa crossing ketika 2 rute kereta bergerak dari asal dan tujuan yang berbeda.

Berdasar konfigurasi jalur dan sistem wesel di setiap stasiun dapat dibentuk rute (rute terbentuk), misal ada jalur yang didedikasikan sebagai jalur raya, atau jalur yang akan dilalui kereta penumpang tanpa pemberhentian, dan seterusnya.

Untuk mengamankan jalur dan rute kereta dengan mengedepankan pendekatan pengelolaan konflik rute digunakan sistem interlocking yang mengintegrasikan wesel (pemindah jalur), sinyal, dan meja layanan sebagai area kontrol di stasiun.

Sistem interlocking relay pertama kali dibangun di Indonesia adalah buatan Siemens (Jerman) yang dikenal dengan sistem interlocking relay tipe DRS-60, dimana pada sistem persinyalan ini elemen dasar interlocking-nya adalah berupa relay. Kontrol pelayanannya dari meja pelayanan, sinyal yang digunakan adalah sinyal cahaya warna, wesel digerakkan dengan motor wesel. Sepur di dalam emplasemen dilengkapi dengan pendeteksi bakal pelanting berupa sirkuit sepur.

Hubungan blok antar stasiun menggunakan interface blok dari sistem relay ke sistem blok elektromaknetik. Instalasi perkabelan dimulai dari ruang relay dihubungkan sampai ke semua peralatan luar.

Sistem interlocking yang kedua adalah sistem interlocking relay buatan Siemens juga dari Jerman yaitu Modular Interlocking System-801 generasi pertama produksi tahun 1980.

Relay yang digunakan adalah tipe K50 (standar UIC-Codex 736 tipe C) disusun ke dalam bentuk modul. Secara meja pelayanan, sinyal cahaya, motor wesel, pendeteksi sepur, Instalasi perkabelan, hubungan blok antar stasiun, sama seperti tipe DRS-60. Sistem persinyalan MIS-801 dapat digunakan di emplasemen besar dan dikembangkan melayani 2-3 stasiun dan waktu pelayanan cepat dengan efisiensi penggunaan operator.

Lalu ada sistem interlocking relay Ansaldo buatan Italia. Elemen dasar untuk interlocking-nya berupa relay P-150 dipadu dengan peralatan kontrol elektronik Genisys buatan Union Switch & Signal Inc (Amerika Serikat). Instalasi kabelnya sendiri dimulai dari ruang relay dihubungkan ke peralatan luar terjauh seperti sinyal muka, dan sirkuit sepur terjauh sampai dengan sinyal masuk. Sirkuit sepur yang digunakan yang bertegangan tinggi (high impulse voltage). Di petak blok yang digunakan untuk mendeteksi kereta api menggunakan penghitung gandar (axle counter) (Situs DJKA).

Lalu sistem interlocking tercanggih yang saat ini sudah mulai digunakan di Indonesia adalah Sistem Interlocking LEN/SIL-Safe 400 buatan LEN _Railways System_ dengan dilengkapi dengan sistem moving block dan sistem ATP (automatic train protection).

Pada pengoperasian LRT Jabodebek yang berbasis ATO (Automatic Train Operation) dengan level otomasi GoA-3, sistem ATP terintegrasi dengan OBCU dan TCMS yang dilengkapi dengan berbagai sensor seperti smoke sensor, derailment, dan obstacle yang dapat memantik pengereman darurat dan dihentikannya perjalanan kereta.

Lalu bagaimana dengan faktor environment atau kondisi alam? Hambatan langsung pada sistem operasi bisa dijumpai pada kondisi longsoran atau banjir misalnya. Atau pada kondisi musim hujan saat ini, khususnya pada jalur atau lintas di daerah pegunungan banyak terjadi kasus KA mengalami selip. Kondisi ini tidak hanya dapat menimbulkan tekanan pada crew KA dan pengendali perjalanan kereta api, tetapi juga berpengaruh pada jadwal perjalanan KA yang bermuara pada keterlambatan dan timbulnya situasi tak biasa.

Adanya kondisi di luar situasi normal akibat adanya gangguan cuaca seperti terjadinya selip, pemutaran jalur karena adanya rintangan jalanan (rinja) seperti longsoran dll, serta padatnya arus lalu lintas pada musim-musim tertentu, memerlukan pendekatan situational awareness yang komprehensif.

Gabungan atau akumulasi antara dinamika tekanan yang bersumber dari aspek manusia, lingkungan, sistem, dan teknologi (karena dapat saja kinerja teknologi terpajan oleh perubahan kondisi alam) dapat berdampak pada penurunan kualitas kinerja yang terasosiasi dengan keselamatan.

Kondisi yang melatarbelakangi sebuah peristiwa seperti PLH yang baru saja terjadi perlu ditelaah dan dikaji secara lebih mendalam.

Kajian secara situational awareness pada peristiwa itu, dengan data asumsi yang belum diverifikasi melalui serangkaian proses investigasi yang valid, membuka beberapa kemungkinan terkait kondisi yang terjadi saat itu. Misal, adanya keterlambatan pada jadwal perjalanan memantik interpretasi dan asumsi yang bermuara pada disorientasi proses pengaturan perjalanan.

Kemudian bisa saja terjadi kondisi dimana hirarki pengambilan keputusan dengan kewenangan otonom yang memungkinkan dieksekusi di lapangan meski tidak sesuai dengan perintah pengatur perjalanan pusat mungkin juga menjadi latar peristiwa ini.

Kondisi lain yang dapat berkontribusi misal terdapat ketidak telitian dalam mengoperasikan kendali perjalanan, termasuk memberi sinyal/pesan jalur aman meski jalur tidak aman. Demikian pula memberangkatkan tanpa konfirmasi dan tampak lebih berorientasi pada asumsi adanya keterlambatan dll juga perlu dikaji lebih mendalam.

Jika data dan fakta hasil investigasi resmi relevan dengan informasi di atas, dan human factor atau juga kondisi sistem, alam, dan teknologi berhasil dipetakan peran dan kontribusinya dalam PLH yang terjadi, maka besar kemungkinan directive dan saran pada hasil akhir investigasi yang tertuang sebagai safety direction tentu akan menitikberatkan pada perbaikan aturan kendali perjalanan, evaluasi SOP, dan perbaikan tingkat compliance pada SDM di semua lini operasi. Peraturan Dinas perlu ditelaah kembali, dan SDM pengendali perjalanan perlu mendapat pelatihan tambahan.

Dari aspek teknologi dapat disarankan penerapan teknologi pengendali perjalanan dengan sistem_interlocking yang lebih aman, misal dengan konsep moving block yang terpadu dengan ATP (automatic train protection), hingga dapat mengontrol kemanan perjalanan dan melakukan tindakan keselamatan seperti memberlakukan automatic stop ataupun pengereman darurat jika sistem mengindikasikan adanya ketidaksesuaian kondisi operasi yang berpotensi membahayakan perjalanan.

Itu adalah opsi ideal untuk meminimalisir resiko terjadinya kegagalan sistem operasi karena berbagai faktor, termasuk yang terkait dengan human factor.

Demikianlah sekilas kajian kita hari ini terkait aspek human, environment, system, & technology dan kaitannya dengan upaya meminimalisir terjadinya kecelakaan ataupun musibah di sektor transportasi yang sama-sama tidak kita harapkan. Besar harapan dari berbagai peristiwa yang telah berlalu, kita dapat memetik hikmah dan pembelajaran yang dapat digunakan untuk terus melakukan proses perbaikan di masa depan.

Akhirul kalam teriring doa yang terbaik untuk segenap awak kereta api yang telah menjadi korban dalam peristiwa nahas kemarin. Semoga segenap amal ibadah dan kebaikan mereka mendapatkan ganjaran yang terbaik dari Allah SWT.

0 comments

    Leave a Reply