May 19, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

AP3I Tolak Relaksasi Ekspor Bijih Mineral

iVooxid, Jakarta-Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Permurnian Mineral Indonesia (AP3I) pertengahan pekan ini menyampaikan tiga pernyataan sikap. Salah satunya adalah penolakan relaksasi ekspor bijih mineral.

AP3I terdiri dari 21 perusahaan smelter baik ferro maupun nonferro yang meliputi tembaga, nikel, besi, timah, silica, zircon dan mangan. Nilai investasi keseluruhan mencapai US$12 miliar dengan penyerapan kurang lebih 15 ribu tenaga kerja.

Tiga pernyataan sikap tersebut adalah: pertama, menolak relaksasi ekspor bijih atau ore mineral. Sebab, hal itu bertentangan dengan komitmen UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Peraturan yang berlaku serta pernyataan Bapak Presiden Jokowi pada saat peresmian pabrik Feronikel di PT Sulawesi Mining Investment pada tanggal 30 Mei 2015. Itu juga bertentangan dengan pernyataan Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) pada tanggal 14 Agustus 2016.

Kedua, AP3I memberikan jaminan kepastian pasokan raw material bagi smelter yang telah berdiri dan beroperasi dalam bentuk “domestic market obligation” beberapa komoditas mineral ore dan konsentrat dari segi kualitas, kuantitas, dan nilai ekonomi (harga). Oleh karena itu, smelter dalam negeri tidak kesulitan memperoleh bahan baku (raw material);

Ketiga, AP3I merekomendasikan agar Pemerintah mencabut PP No.17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan, dan Pengembangan Industri. Tujuannya untuk mengakhiri dualisme perizinan dan pembinaan industri smelter.

Selain menyampaikan pernyataan sikap, AP3I juga memberikan beberapa rekomendasi: Pertama, alternatif yang bisa dilakukan agar industri pertambangan tidak melakukan ekspor, seperti memenuhi permintaan keseluruhan industri smelter yang telah beroperasi selama ini, dengan harga yang ditetapkan pemerintah, mengacu pada harga komoditas internasional.

Apabila ada tekanan yang kuat sehingga pemerintah memberikan izin ekspor (relaksasi) pada beberapa perusahaan karena alasan financial, seharusnya pemerintah selektif dengan syarat: Perusahaan yang telah membangun smelter (diaudit oleh independent auditor yang secara periodik melakukan melakukan penilaian), memberikan pemenuhan kewajiban suplai dalam negeri (domestic market obligation) dan tambahan bea keluar ekspor. Pemberian izin ekspor ini juga dilihat dari jumlah kuota dan jangka waktu tertentu.

Kedua, momentum pembangunan industri smelter dalam negeri sepatutnya harus didukung penuh, dengan memberikan kemudahan berusaha (Paket Incentive) dan percepatan infrastruktur di mana lokasi smelter berdiri.

Dalam kurun waktu 2012-2016, investasi smelter telah berdiri 27 smelter, jumlah realisasi fantastis dalam kurun waktu 4 tahun.

Ketiga, percepatan harmonisasi dan menderegulasi beberapa peraturan di pemerintah pusat, antar kementerian dan pemerintah daerah yang menghambat iklim investasi industri smelter.

Prihadi Santoso, ketua umum AP3I mengatakan, pernyataan tesebut sebagai respons terhadap kondisi perekonomian global dan domestik yang belum sepenuhnya membaik. Situasi dan dinamika perekonomian masih terus berkembang seperti optimisme pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi 5,3% di tahun 2017 yang berarti lebih optimistis ketimbang target tahun 2016 yang sebesar 5,2%.

Di tengah kondisi ekonomi global yang belum kondusif, menurut Prihadi, pemerintah menyakini, komsumsi dan investasi akan mampu menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi saat ini. “Untuk itu pemerintah harus terus memberikan dukungan kepada sektor industri untuk tetap konsisten pada kebijakan yang telah dibuat, dan memberikan paket kebijakan ekonomi dalam rangka memperbaiki iklim investasi dan iklim usaha,” papar dia.

Dalam kondisi pelemahan perekonomian, ada upaya pihak-pihak lain mendorong kembali relaksasi ekspor bijih atau ore mineral keluar negeri. “Hal ini bertentangan dengan program pemerintah untuk hilirisasi peningkatan nilai tambah produk pertambangan di dalam negeri,” uapnya.

Hilirisasi sesuai dengan semangat UUD 1945, Pasal 33 Ayat 3; UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No. 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian; PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; PP No.1 Tahun 2014 dan PerMen ESDM No. 1 Tahun 2014.

PP No. 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 memberikan perpanjangan waktu untuk dapat melakukan penjualan produk hasil pengolahan konsentrat (bukan bijih/ore) sampai 12 Januari 2017.

Disadari bahwa tanggal 12 Januari 2017 merupakan batas waktu ekspor mineral olahan konsentrat. Artinya, tidak ada lagi mineral (bukan bijih/ore) yang diekspor atau dalam bahasa umum adalah “tidak ada lagi ekspor tanah dan air”.

Apabila pemerintah melakukan kebijakan relaksasi ekspor bijih/ore, komitmen pemerintah akan dipertanyakan oleh masyarakat luas, perusahaan smelter dalam negeri, serta investor luar negeri, yang menganggap pemerintah tidak serius dan tidak mempunyai konsep yang jelas dalam melakukan program hilirisasi peningkatan nilai tambah sumber daya mineral di dalam negeri.

Selain berdampak negatif pada iklim investasi, juga perusahaan smelter yang tidak memiliki pertambangan akan sulit mendapatkan pasokan dari dalam negeri.

Menurut AP3I, permasalahan bukan pada UU Minerba No.4/2009, namun berada pada peraturan turunannya, yakni PP No.23/2010, PP No.1/2014, Permen ESDM No 1/2014. “Untuk itu AP3I tidak merekomendasikan untuk mengubah UU tersebut,” imbuhnya. (jaw)

0 comments

    Leave a Reply