September 30, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Antara Solidaritas dan Sengkarut Energi

PERSOALAN dan segala centang perenang sejarah, tukas fisikawan Michio Kaku, adalah persoalan energi. Mulai dari lahir, makan, minum, tidur, dan mati, manusia tidak lepas dari sengkarut dan carut marut kisruhnya energi.

Mendapatkan sumber makanan dan minuman adalah persoalan energi. Lepasnya sebuah wilayah mencari makan dan minum adalah masalah energi. Bahkan berlibur pun merupakan sebuah upaya untuk mengembalikan energi yang menyublim dalam pekerjaan. Kelahiran begitu menggoda dan menggugah karena janji energi yang melimpah, sementara kematian begitu pedih dan menakutkan karena ancaman surut dan punahnya energi. Secara historis, energi adalah huruf kapital pengawal dan tanda titik pengakhir pasang surut peradaban dan kebudayaan manusia.

Bicara Palestina dan segala problematikanya adalah sebuah perbincangan yang tajam dari segala sisi. Bila kita mengambil simplifikasi Kartesian – seturut usungan gagasan René Descartes yang mengawali modernitas – kita bisa masuk dalam tegangan dualistik: kutub bertemu dengan kutub; sisi satu bertarung melawan sisi yang lain, dan akhirnya perang semua lawan semua – bellum omnium contra omnes, dalam nomenklatur Hobbesian. Kiri lawan kanan, depan lawan belakang, atas melawan bawah, dalam melawan luar, semua lawan semua tidak pernah berakhir dengan selesai; tanda titik tidak akan pernah muncul karena tanda koma tidak pernah ada habisnya.

Dalam langgam vernakularnya dan mungkin vulgar, “tegang” selalu berlawanan dengan “lemas”. Bila fenomenon ini dibaca secara energi, yang berenergi selalu bertolak belakang dengan tanpa energi. Yang “enerjik” selalu berlawanan dengan yang “loyo”. Singkatnya, yang bersemangat ada di ujung oposisi mereka yang putus harapan. Namun kalau kita bicara energi, kita bisa sedikit meminjam intip ilmu alam: energi adalah beban. Mereka yang berenergi harus kuat menanggung beban, sementara yang sudah menyerah tidak kuat lagi menanggung beban. Kita sering lupa bahwa berenergi juga berarti terbebani.

Timur Tengah, atau lebih tepatnya daerah timur dari Laut Mediterania, mulai dari Turki memanjang sampai ke Mesir, adalah sebuah titik transit energi. Sejak jaman kerajaan Asiria terutama di abad ke-7 sebelum masehi, daerah ini adalah wilayah sebuah titik tumpu distribusi energi dalam bentuk makanan dan minuman dan berbagai kebutuhan lainnya yang dihasilkan oleh suburnya dataran pertemuan Sungai Tigris dan Sungai Efrat. Secara geopolitik wilayah ini adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar bila siapapun – tidak terkecuali kekaisaran Romawi dan Inggris Raya – ingin “menguasai dunia”. Setelah minyak bumi menjadi bagian dari sejarah menggantikan surutnya peran garam dalam perekonomian makro, kawasan ini menjadi begitu menggoda dan menggiurkan: tidak ada kandidat kutub kekuasaan manapun yang rela melepaskannya.

Karena itu pula, kawasan ini, tidak terkecuali wilayah Gaza sepanjang 41 kilometer, tidak pernah sepi dari beban. Hidup di wilayah ini adalah hidup menanggung beban, tidak terkecuali bagi siapapun. Sudah dari jaman kerajaan Mesir Kuno, siapapun yang rela tinggal di “hotspot” ini harus siap untuk terjaga. Bahkan di jaman pagannya, dewa-dewa dari agama pra-wahyu di wilayah ini disimbolkan dengan mata yang terbuka lebar – mata yang awas dengan segala bentuk tikaman dari depan dan dari belakang. Inilah yang membuat persoalan menjadi semakin rumit dan kusut bila kita melihatnya dalam kerangka ini versus itu.

Hingga Januari 2024, tidak ada tanda-tanda krisis di wilayah Gaza dan perbatasan yang bersinggungan dengan wilayah klaim Israel melunak. Pertikaian terbuka ini sudah berjalan tujuh bulan, dan sepertinya terus membentur tembok dan mogok di jalan buntu. Opini dunia terbagi dalam tiga sisi – bila kita mencermati berita yang masuk di media: sisi Palestina, Israel, dan netral. Dua sisi yang pertama cederung lebih agresif satu sama lain, dan sisi netral mencoba menengahi pedasnya pertikaian keduanya. Korban jiwa menurut PBB (OCHA – Office for the Coordination of Humanitarian Affairs) hingga awal tahun 2024 ini adalah 6.736 di pihak Palestina, dan 317 di pihak Israel. Terbuka bagi siapapun untuk menolak data PBB dan memilih data dari Hamas dengan korban di pihak Palestina 22.835 jiwa.

Reaksi terhadap aksi balasan Israel terhadap agresi militer yang dilakukan Hamas terhadap warga sipil Israel beragam, namun yang perlu kita simak adalah tentang boikot dan penolakan produk. Beberapa mata rantai bisnis internasional menjadi sasaran seruan boikot, atau dalam bahas Michio Kaku: tolak energi ini dan ganti dengan yang lain. Gerakan ini menjadi sebuah opsi kepedulian yang layak kita berikan apresiasi sebagai sebuah bentuk manifestasi sikap kemanusiaan; namun demikian, dalam hal efektivitas untuk menghentikan krisis – kita perlu mengingat aspek energi yang lain: impersonalitas.

Energi tidak pernah punya nama, tidak berasal dari ras atau suku tertentu, tidak pernah menganut agama, dan tidak pernah jadi anggota partai politik. Energi sebenarnya impersonal: dihasilkan oleh siapa saja dan untuk siapa saja. Energi tidak mau menolak siapapun, dan tidak bersedia menolak ajakan dari manapun. Energi pun tidak pernah kemana-mana, hanya wujudnya yang berubah. Energi siap melayani siapapun, asal teknologi mereka yang membutuhkan sudah mencukupi dan memadai. Energi, sayangnya, inkompatibel dengan boikot apapun. Secara historis, boikot adalah sikap; perkara konsumsi energi adalah soal lain.

Hiruk pikuk suara dari berbagai belahan bumi adalah sebuah dialog, dan salah satu manifestasinya adalah upaya untuk menghentikan arus energi dari satu titik ke titik lain. Sebagai suara kita tidak boleh berhenti, karena solidaritas kemanusiaan perlu menjadi lebih baik dan lebih etis lagi – nyawa manusia bukan data statistik dan krisis kemanusiaan jelas bukan mainan. Namun sengkarut di Timur Tengah adalah dan dimulai dari energi, dan lepas dari krisis yang membeban dalam waktu, kompleksitas permasalahan di wilayah genting ini hanya dapat diatasi dengan memahami wujud energi lain yang tidak mengait dengan tempat, atau dengan pihak tertentu; sebuah bentuk energi yang bukan pion-pion percaturan politik. Hanya dengan ini, kita bisa menyelaraskan energi sebagai mitra yang bebas dari kekejian konflik.

Penulis: Mardohar B.B. Simanjuntak

Pengamat Budaya

0 comments

    Leave a Reply