Antara Sedotan dan Evolusi
Lokapasar – marketplace – adalah sekadar pasar. Sederhananya, itulah kekuatan evolusi dalam wujud apapun, tidak terkecuali pasar.
Evolusi tidak pernah aneh-aneh, dan bagi pemikir seperti Rutger Bregman, hasil dari interaksi evolusioner adalah turunan yang lebih ramah dan elegan. Singa adalah bentuk lebih ramah dan “lucu” dari sabretooth – moyang biologis dengan taring sepanjang dan setajam pedang. Kucing – derivat singa – bahkan bisa berbagi ranjang dengan manusia dan makan-makanan yang sama, bila tidak lebih baik dari sang pemilik. Bregman mengajukan bukti evolusi yang lebih tajam lagi: bahwa pervasifnya peran puppy di dalam kehidupan manusia adalah bukti bahwa evolusi tidak segan-segan memangkas serigala yang garang dan kejam ke keranjang sampahnya.
Sedotan yang sekarang terbuat dari plastik dan menjadi bagian dari bencana ekologis pertama kali dalam sejarah dikembangkan di Sumeria, sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Alasannya, mereka ingin minum bir tanpa meminum ampas yang biasa ada di dasar mangkuk. Anda tinggal menyelancari internet dan menemukan klaim lain tentang sedotan tertua yang ada di dunia, yang diperkirakan berasal dari daerah Armenia dan diklaim berasal dari 3700 tahun SM. Kita juga akan segera menemukan nama Marvin Stone yang didaulat sebagai bapak penemu sedotan minum modern yang terbuat dari kertas, dan cerita tentang awal penggunaan sedotan plastik setelah Perang Dunia Kedua.
Sedotan mungkin simbol metafor yang tepat untuk pasar. Dalam masyarakat subsisten – yang memenuhi semua kebutuhannya sendiri – pasar dan pertukaran tidak dibutuhkan. Mekanisme barter terjadi saat manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya, dan ia membutuhkan bantuan dari yang lain. Tugas pasar adalah penjadi perantara dari pemenuhan kebutuhan manusia. Demikian pula sedotan. Saat manusia bisa meminum langsung dari gelas, kita tidak butuh silinder panjang yang terbuat dari kertas atau plastik itu. Saat kita sakit dan harus berbaring, kita butuh sedotan. Saat gelas terlalu sempit atau kita tidak mau mengalami rasa ngilu di gigi saat minum minuman dingin, kita butuh sedotan. Tidak setiap saat kita membutuhkan sedotan, dan tidak setiap saat kita butuh pasar.
Kembali ke evolusi, bila Bregman mengatakan bahwa evolusi sejalan dengan penghalusan dan pelunakan, maka Matt Ridley dalam How Innovation Works menukas bahwa semua inovasi adalah evolusi dan semua inovasi belum tentu invensi semalam oleh seseorang. Inovasi yang paling ajeg bagi Ridley adalah kehidupan itu sendiri. Pasar adalah inovasi – dan lokapasar adalah evolusinya. Tidak ada yang menciptakan pasar, dan semua medan aplikasi digital yang kita kenal adalah cabangan dari intensi teknologis yang tumbuh di luar ekspektasi. Instagram, misalnya, dirancang pada awalnya sebagai aplikasi gim digital. Tiktok awalnya didesain sebagai platform video yang berbeda dengan Youtube – terutama di efek khususnya. Dari Britannica kita tahu bahwa media ini dirintis lewat kehadiran aplikasi Vine di tahun 2013, dan selanjutnya media video klip Musical.ly. Di tahun 2018, perusahaan Tiongkok ByteDance pun kemudian menggabungkan beberapa aplikasi di bawah satu payung dengan nama yang sekarang menjadi sangat fenomenal, Tiktok.
Dalam istilah Ridley, Tiktok adalah inovasi atas evolusi pasar. Lokapasar Tiktok muncul secara perlahan, dan demikian pula dengan berbagai persoalan yang dihadapinya. Awalnya Tiktok hanya menyediakan efek khusus untuk tayangan yang berdurasi 15 detik sampai 3 menit. Kemudian masalah privasi data membuat Presiden Joe Biden melarang aplikasi ini untuk informasi yang berhubungan dengan negara, pada Desember 2022. Langkah Amerika Serikat ini mengikuti keputusan yang diambil oleh pemerintah India di tahun 2020, dengan alasan retasan data pribadi. Pemerintah Indonesia di bulan Oktober 2023 akhirnya meninjau ulang semua fasilitas transaksi di lokapasar ini, dengan alasan persaingan yang tidak sehat.
Media sosial Tiktok tidak jauh berbeda dengan sedotan dua arah. Di satu sisi pengguna dengan potensi daya beli mereka “disedot” oleh para pedagang daring (online merchant) yang bisa memangkas ongkos produksi hingga hanya perlu membayar biaya pulsa internet. Di sisi lain, pembeli yang tidak mau direpotkan oleh proses transaksi gaya lama – termasuk berjalan di beceknya pasar tradisional atau menempuh panasnya kemacetan jalanan – “menyedot” kemudahan yang ditawarkan oleh pedagang dan memenuhi kebutuhan mereka secara instan. Tiktok sebenarnya hanya mengisi ceruk yang sudah pasti ada dan jelas dibutuhkan ini. Menunda kehadirannya hanya akan menggeser lokapasar dari yang satu ke yang lainnya. Sama seperti ojek dan angkot yang tidak efisien digantikan oleh ojol, demikian pula hukum pasar membuat Tiktok sebagai spesies bisnis yang lolos seleksi.
Dinosaurus hidup selama 180 juta tahun, mengisi era Mesozoik dan menghasilkan Jaman Reptil. Kepunahan mereka terjadi karena dua hal: mereka tidak menghasilkan “peradaban” yang cukup untuk bertahan terhadap perubahan lingkungan, dan lingkungan mereka berubah secara mendadak. Inovasi dalam evolusi tidak mengenal kata ‘terbaik’, ‘terkuat’, ‘tercepat’, dan lain semacamnya. Evolusi hanya mengenal kata ‘cocok’ – entah apapun yang harus dilakukan untuk bisa menyesuaikan diri. Tiktok dalam manual evolusi jelas bukan yang terbaik, dan bukan pula invensi semalam dari jenius berambut semrawut dengan jas putih laboratorium. Tiktok adalah inovasi yang sama tuanya dengan pasar.
Dalam perspektif Darwinian, lingkungan – nature – akan secara kontinyu mengubah lanskap syarat menyintas. Keberadaan setiap spesies adalah untuk mengisi ceruk-ceruk dinamika medan kehidupan dengan segala tuntutannya. Tidak akan ada jamur bila tidak ada ruang lembab; keberadaan ruang lembab menyaratkan keberadaan jamur, atau spesies apapun yang bisa mengisinya. Pasar adalah karakter alami dari konstruksi sosial manusia yang dimulai dari era bertani, yang menggantikan jaman berburu dan meramu. Persis seperti itulah spesies Tiktok mengisi ceruk belantara ekonomi. Hanya bila mekanisme alami pasar berubah secara mendasar, Tiktok bisa keluar dari daftar. Lokapasar dalam skala masif seperti ini adalah inovasi alami dari apapun yang kita sebut transaksi.
Penulis: Mardohar B.B. Simanjuntak
Pengamat Budaya
0 comments