April 20, 2024

Update Terbaru virus covid-19
Indonesia

Memuat...

Dunia

Memuat...

Tax Amnesty

Amnesti Pajak atau Pengampunan Pajak?

Terjadi perdebatan makna antara yang berkonotasi negatif dan positif.

iVooxid, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo cukup sering bertemu dengan pimpinan media-media massa di Indonesia, seperti yang terjadi pada hari Kamis (14/7/2016) ketika bertemu sejumlah pemimpin redaksi dan redaktur ekonomi.

Salah satu hal yang dibahas saat itu adalah rencana pemerintah memberikan pembebasan denda bagi para pengusaha pengemplang pajak dengan syarat melunasi pajak-pajaknya. Tujuannya adalah menghimpun dana pajak yang selama ini dinilai tidak maksimal karena ulah pengusaha yang tidak tertib membayar kewajibannya.

Rencana itu dituangkan dalam rancangan undang-undang yang tampaknya akan berjalan mulus. Rancangan undang-undang itu dikenal sebagai RUU Tax Amnesty, atau ada pula media yang menyebut sebagai RUU Pengampunan Pajak.

Namun, dalam pertemuan antara Presiden dan pimpinan media massa itu, ternyata tidak hanya tentang kebijakan saja yang dibicarakan. Ada informasi bahwa pemerintah meminta media massa untuk menyebut "tax amnesty" sebagai "amnesti pajak", bukan "pengampunan pajak".

Sepertinya ada yang berpendapat bahwa frasa "pengampunan pajak" tidak bagus karena menimbulkan konotasi negatif. Oleh karena itu, diusulkan penggunaan frasa "amnesti pajak".

Apa masalahnya? Masalahnya adalah kata "amnesti" bukan kata asli bahasa Indonesia meskipun sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan sudah tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa.

Penggunaan kata serapan pun bukan sesuatu yang tabu atau haram karena "9 dari 10 kata bahasa Indonesia adalah asing", seperti halnya judul buku Remy Silado dengan nama Alif Danya Munsyi. Namun, meskipun menulis buku itu, bukan berarti dia menyetujui arus deras penyerapan kata asing yang bisa "membunuh" bahasa Indonesia.

Bila memang ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, mengapa harus kata serapan yang biasanya masih berbunyi seperti aslinya yang dikedepankan? Bukankah bangsa Indonesia, yang terdiri atas banyak suku, memiliki ragam kosakata yang bisa digunakan.

Bagaimana pula dengan sumpah yang diucapkan para pemuda dan diperingati setiap tahun sebagai Sumpah Pemuda bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang harus dijunjung, sementara bangsa dan tanah air Indonesia hanya diakui sebagai kesatuan saja.

Butir ketiga Sumpah Pemuda pada dasarnya adalah bentuk cita-cita bangsa Indonesia untuk memiliki kedaulatan bahasa, sebagaimana bangsa dan tanah air berdaulat yang disebutkan dalam butir-butir sebelumnya.

Oleh karena itu, pengarusutamaan penggunaan kata asli Indonesia sejatinya adalah bentuk kedaulatan bahasa. Bila kata "pengampunan pajak" tidak bisa berterima, akan lebih baik jika digunakan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, alih-alih mengambil kata serapan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana tertentu.

Oleh karena itu, bila kata pengampunan tidak diterima, bisa digunakan kata penghapusan. Dalam hal ini, bukan pajaknya yang dihapus, melainkan sanksi atau dendanya. Maka, "tax amnesty" bisa disebut sebagai "penghapusan sanksi pajak" atau "pembebasan sanksi pajak".

Kata "penghapusan" atau "pembebasan" sepertinya masih relatif tidak berpihak pada konotasi yang negatif sehingga lebih bisa diterima.

Pertarungan Wacana Namun, selain mendiskusikan tentang kata asli Indonesia dan kedaulatan bahasa, permintaan pemerintah agar media massa menggunakan frasa "amnesti pajak" juga mendorong diskusi lebih lanjut, yaitu tentang pertarungan wacana.

Menurut kajian Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew, bahasa adalah praktik ideologi. Bahasa menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat, memberikan kemungkinan seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitas sosial.

Oleh karena itu, peristiwa yang sama bisa dibahasakan dengan bahasa yang berbeda. Penggunaan kata yang berbeda atas peristiwa yang sama tidak dipandang sebagai hal yang teknis semata, tetapi sebagai praktik suatu ideologi.

Bahasa pada dasarnya selalu menyediakan klasifikasi sehingga peristiwa harus dilihat dari sisi yang satu, bukan yang lain. Penggunaan kata tertentu terhadap suatu peristiwa akan memaksa khalayak melihat bagaimana realitas seharusnya dipahami.

Fowler dkk. menilai kosakata tertentu bukan hanya tidak netral dan tidak menggambar realitas, melainkan juga mengandung penilaian. Bahasa juga bersifat membatasi karena kita diajak berpikir untuk memahami peristiwa seperti itu, bukan yang lain.

Oleh karena itu, kosakata haruslah dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Setiap pihak memiliki versi atau pendapat sendiri-sendiri atas suatu masalah.

Mereka bukan hanya memiliki versi yang berbeda, melainkan juga berusaha agar versinya yang dianggap paling benar dan lebih menentukan dalam memengaruhi opini publik.

Dalam memenangi penerimaan publik tersebut, masing-masing pihak menggunakan kosakata sendiri dan berupaya memaksakan agar kosakata itu yang lebih diterima khalayak.

Dengan kosakata dan istilah tertentu, jalan berpikir dan pandangan khalayak dibatasi. Dengan pemakaian istilah dan kosakata tertentu, kata tidak menggambarkan peristiwa sebenarnya.

Penggunaan kata-kata tertentu biasanya digunakan oleh pejabat pemerintah untuk menutupi peristiwa yang sebenarnya terjadi. Pada masa Orde Baru, pemerintah kerap menggunakan istilah "penyesuaian harga" untuk menyebut "kenaikan harga".

Kosakata itu membatasi perspektif dan cara pandang khalayak tentang peristiwa yang sebenarnya. Bahasa "penipuan" seperti itu ternyata diadopsi oleh media.

Kesalahan "Pengampunan" Dengan mendasarkan pemikiran pada kajian Fowler dkk., permintaan pemerintah agar media massa menggunakan frasa "amnesti pajak" memunculkan beberapa pertanyaan.

Pertanyaan pertama adalah apa yang salah dengan "pengampunan"? Bila alasan yang disampaikan pemerintah bahwa kata "pengampunan" berkonotasi negatif, jawaban yang paling memungkinkan adalah karena pengampunan biasanya diberikan kepada pesakitan yang sedang dihukum.

Apa pun istilah berarti berarti "pengampunan" yang ada pada ranah hukum, termasuk amnesti, selalu diberikan kepada para pesakitan yang menghuni penjara-penjara karena melakukan kejahatan.

Karena asosiasi yang mengarah kepada para pesakitan seperti pencuri, pembunuh, pencoleng, dan pemerkosa itu, "pengampunan" dianggap bersalah dan dihukumi berkonotasi negatif.

Pertanyaan kedua adalah siapa yang merasa tidak nyaman dengan kata "pengampunan"? Jawaban yang paling memungkinkan untuk pertanyaan ini adalah subjek dari kebijakan pengampunan pajak itu sendiri, yaitu para pengusaha pengemplang pajak.

Mungkin saja para pengusaha pengemplang pajak itu, yang menghuni rumah-rumah bak istana, tidak ingin disamakan dengan para pesakitan penghuni hotel prodeo. Mungkin mereka berpikir, menghindari pajak bukanlah kejahatan atau tidak sejahat mencuri dan merampok sehingga tidak pantas menggunakan istilah "pengampunan".

Hal itu juga sejalan dengan pemikiran Fowler dkk. bahwa kosakata memunculkan marginalisasi, peminggiran. Penggunaan kosakata tertentu merupakan upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri dengan mengesampingkan pihak lain.

Dalam hal ini, yang pantas mendapatkan "pengampunan" adalah para penjahat, sedangkan pengusaha yang terhormat lebih pantas mendapatkan "amnesti".

Pemikiran-pemikiran tersebut memunculkan pertanyaan lanjutan, mengapa pemerintah ikut-ikutan menganggap "pengampunan" tidak layak disematkan kepada pengusaha pengemplang pajak? Mungkin Anda yang bisa menjawab. [ant]

0 comments

    Leave a Reply